Friday, March 25, 2011

Kembali ke Pesantren

Kembali ke Pesantren. Dulu banyak anggota masyarakat pedesaan masuk NU karena mereka ingin selamat. Artinya mereka ingin bermakmum kepada para Kyai yang menganut ajaran Islam Ahlussunnah wal jama'ah karena diyakininya akan selamat dunia-akhirat. Namun kini berbondong-bondong para elit masuk NU katanya ingin menyelamatkan NU. Ada apa dengan NU?

Selama dua hari ini (26-27 Maret) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama akan menggelar rapat pleno di Jogjakarta. Judul tulisan "Kembali ke Pesantren", mengingatkan kita dengan buku harian yang ditulis oleh alm KH Saifuddin Zuhri (Mantan Menteri Agama RI yang juga mertua KH Sholahuddin Wahid) berjudul "Berangkat dari Pesantren".

Dari buku setebal 500-san halaman itu pembacanya dibawa masuk dalam pergulatan hidup orang-orang desa yang setiap aktifitasnya melekat kultur NU dengan Kyai sebagai pimpinan masyarakat dan pondok pesantren sebagai sentral kegiatan keagaaman dan social.

Setelah dalam 10 tahun terakhir pesantren banyak mengalami tarik-menarik kepentingan politik, tiba-tiba KH. Said Agil Siraj sebagai Ketua Umum PBNU hasil Muktamar di Sulawesi Selatan 2010 dalam pidato sambutannya tegas menyampaikan bahwa misi NU di bawah nahkodanya akan kembali ke pesantren. Prioritas program NU di pesantren akan menitik beratkan pada pengembangan pendidikan bagi warga Nahdliyin.

Sub Kutur

Jauh sebelum gagasan "Community Development" dituangkan oleh Jim Ife (2000) menjadi kajian akademik ilmu social, pesantren di pedesaan tak hanya memikirkan konsep yang bersifat teoritik bahkan telah menerapkannya sejak ratusan tahun silam. Paling tidak kita bisa menelusuri dari lembaran sejarah negeri ini bagaimana Islam disebarkan secara meluas. Pesantren Ampel Denta Surabaya di anggap sebagai pesantren tertua yang melahirkan pemimpin masyarakat bernama Raden Fattah sebagai cikal bakal lahirnya gerakan wali songo (1478-1518 H).

Posisi dan peran pesantren yang selama ini di anggap kolot dan tradisional mulai masuk dalam bahasan akademis setelah diangkat oleh Cliffort Geerts dalam penelitian panjangnya di sekitar Kediri Jawa Timur. Buku Geertzs berjudul Abangan, Santri, Priyayi itu membuka mata para intelektual yang sebagian besar berada di kota untuk mengkaji persoalan social, budaya dan nilai-nilai yang selama ratusan tahun bertahan di pedesaan.

Geertz menyebut pesantren sebagai sub kultur masyarakat (khususnya Jawa) karena sampai hari inipun pesantren sebagai intitusi pendidikan menyatukan dirinya integral bersama masyarakat, memilliki basis social yang sangat kuat dan jejaring yang juga kuat.

Di pesantren tak hanya ada aktifitas belajar mengajar agama yang dilakukan santri kepada Kyai, namun juga ada kegiatan bela diri (namanya bermacam-macam, salah satunya bela diri pagar nusa), juga ada aktifitas mengobati masyarakat yang sedang sakit dengan menggunakan ramuan Jawa (semacam jamu), konsultasi pertanian (tentang hari baik bercocok tanam), mencari jodoh sampai pada kegiatan menyusun strategi melawan penjajah belanda.

Dalam lembaran sejarah pergerakan nasional, kita tentu masih mengingat peristiwa yang mendasari Surabaya dijadikan sebagai kota Pahlawan. Ketika itu para Kyai pesantren di Jawa Timur berkumpul untuk menyusun sikap dan strategi menghadapi penjajah.

Dari pertemuan tersebut lahir kesepakatan yang bernama resolusi Jihad yakni jika penjajah melakukan gerilya dalam radius 500 meter, rakyat diperkenankan untuk melakukan perlawanan (Ahmad, 2000). Sebagai benteng rakyat ketika itu adalah pesantren Tebu Ireng yakni pesantren yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari (kakek alm Gus Dur). Di pesantren inilah masyarakat menyiapkan kebutuhan kosumsi dan akomodasi lain para pejuang (Susianah, 2005).

Kapital Sosial Pesantren

Pertanyaan mengapa pesantren bertahan sampai ratusan tahun lamanya agaknya bisa di analisis dengan menggunakan konsep kapital sosial ala Portes. Alejandro Portes adalah Sosiolog yang mengkonsentrasikan kajiannya pada interaksi sosial dengan aktifitas ekonomi. Portes dalam Damsar (2009) mengajukan empat sumber kapital sosial yakni nilai, solidaritas, resiprositas dan kepercayaan.

Tradisi pesantren dengan dinamikanya memegang teguh untuk menjalankan misi dakwah ”li kalimatillah”, tanpa bertendensi mendapatkan keuntungan materi. Kyai atau manajemen pesantren tidak membebankan biaya belajar yang tinggi seperti lembaga pendidikan pada umumnya.

Di sinilah kita bisa melihat bagaimana besarnya solidaritas para orang tua santri yang oleh Portes disebutnya sebagai sumber kapital sosial, merasa bahagia atau mendapat keuntungan besar dari pesantren. Anak-anak mereka yang dulunya tidak punya sopan santun, ketika masuk pesantren menjadi pribadi yang berbudi luhur dan bahkan menjadi anak sholeh. Luapan bahagia para orang tua santri biasanya diapresiasikan dengan pemberian hasil-hasil bumi kepada Kyai tanpa Kyai atau pesantren memintanya.

Secara matematis, para ahli ekonomi atau sosiolog bisa mengkalkulasi berapa banyaknya hasil-hasil bumi yang bernilai materi beredar di pesantren. Jika satu orang tua santri mengirimkan hasil buminya 20 kg beras sedangkan di pesantren tersebut terdapat 1000 santri? Ini hanya perkiraan rataan. Tidak sedikit para orang tua santri yang sangat bahagia karena anak-anaknya mendapat ilmu agama juga mengirimkan tanah untuk di waqafkan kepada pesantren. Semua hasil bumi tersebut dikelola tidak hanya semata untuk kebutuhan Kyai dan keluarganya namun juga untuk mengembangkan pesantren dan masyarakat di sekitarnya.

Pesantren sebagai institusi agama juga memiliki jaringan sosial yang tidak pernah diperhitungkan oleh kalangan ilmuwan sosial. Para antropholog baru mulai menjadikan pesantren sebagai bagian dalam bahasa sub kultur ketika Geertzs mulai mengadakan penelitian mendalam tentang karakteristik masyarakat Jawa yang kemudian terkenal dengan bukunya "Religion of Java".

Zamakhsari Dhofir (1982) menyebutkan bahwa posisi Kyai tidak saja sebagai pemimpin agama namun juga sebagai pemimpin gerakan sosial politik di masyarakat. Di samping memiliki jaringan sosial yang kuat di masyarakat, pesantren juga memiliki jaringan yang kuat antar pesantren. Sebagian besar pengasuh pesantren tidak saja memiliki keterikatan sama dalam hal pola pikir, paham keagamaaan namun juga memiliki kekerabatan yang sangat kuat.

Hubungan santri dan Kyai tidak terputus begitu saja meski sang satri sudah berkiprah di masyarakat. Para santri yang dulunya mendapat ilmu dan pengetahuan pesantren banyak yang tampil sebagai pemimpin di masyarakat. Mereka kini juga banyak yang menduduki posisi-posisi penting di jajaran pemerintahan baik itu pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat. Di posisi inilah Portes berpendapat bahwa "nilai" merupakan sumber dari kapital sosial Pesantren. Damsar (2009) memberikan contoh nilai yang dimaksud oleh Portes adalah kegiatan mendidik. Dalam hal ini Kyai berhasil mendidik santrinya sehingga sang santri merasa berhutang budi di kemudian hari ketika ia menjadi pejabat publik.

Besarnya kapital sosial di pesantren pada era reformasi menjadikan elit-elit pesantren yang ada dalam rumah besar pesantren yakni NU tergoda untuk menariknya ke ranah politik. Wal hasil kita bisa menyaksikan banyaknya elit NU di partai politik yang menjadikan pesantren sebagai basis kampanyenya.

Pesantren yang selama ini dikenal dengan NU kecil itu kemudian mengalami gagap adaptasi. Para Kyai yang dulunya sangat anti dengan modernisasi apalagi politik tiba-tiba terjebak pada konflik internal seperti yang kerap terjadi pada saat pemilihan Bupati ketika NU kecil ini memiliki calon lebih dari satu dan semuanya berharap dukungan pesantren.

Sekarang NU sebagai pesantren besar akan dinanti-nantikan perwujudan komitmennya untuk kembali ke pesantren. Seperti kembalinya seorang anak yang telah lama meninggalkan kampung halaman, menuntut ilmu dan pulang untuk mengabdi "li kalimatillah", tidak seperti retoritanya politisi pada masa kampanye. Wallahu’alam.

detikcom Kembali ke Pesantren

Tuesday, March 8, 2011

Ternyata Oh ternyata ...


1. ada yg lebih miskin.
jangan pernah merasa anda adalah orang yang termiskin di dunia. coba lihat, coba lihat ada yang lebih miskin dari kamu. Jangan pernah mengeluh ... bersykurlah. Anda adalah orang kaya, jika Anda tak merasa kaya, mulai saat ini kayakanlah diri Anda dengan kelimpahan ruhani, kelimpahan menderma dengan kondisi yang Anda.

2. ada yg lebih terkenal
Jika anda merasa anda adalah orang yang paling terkenal, maka anda salah. Ada yang lebih terkenal dari Anda. Jadi jangan pernah marah jika ada orang yang tak mengenal Anda, jadilah bijak .. buanglah sombong. Hadapi semua yang terjadi yang menimpa Anda dengan kelapangan hati, senyum yang merekah dan kebijakan hati.

3. Ada yang lebih bahagia dari kita
Usah kau over dalam percaya diri. Banyak yang lebih kaya, yang terpenting dalam hidup ini adalah kesadaran untuk bersyukur pada Allah tuhannya.

4. Ada yang lebih soleh dari kita
Ada yg sama sekali nggak punya apa2, tetapi hidupnya digunakan untuk mengbdi pada Allah dan mengabdi pada manusia dalam pengertian mereka lebih mementingkan kepentingan orang lain dari pada kepentingannya sendiri, sedangkan sebenarnya dia sendiri membutuhkannya. Banyak orang-orang semacam itu. Jangan pernah diri merasa shaleh, dan jangan pernah merasa bersih sementara yang lain itu tidak. Maka tingkatkan kesolehan Anda tanpa harus menghukumi orang lain lebih buruk.

5. Ada orang yang lebih peduli
Lihatlah di kota-kota besar, ada seorang yang pekerjaannya mengambili sampah dimanapun dia berada. Jelas dia memiliki kepedulian dibandingkan dengan orang dikantor yang tak memiliki wawasan lingkungan.

6. ada orang yang lebih berhati-hati
Lebih berhati-hatilah kamu, karena sesungguhnya ada orang yang lebih berhati-hati dari kita, lebih takwa dari kita ... kecemburuan dalam hal ini adalah boleh. Anda harus cemburu dengan orang yang lebih soleh dari Anda, sehingga Anda mengerahkan kemampuan Anda untuk lebih soleh dari mereka yang anda cemburui.

7. Ada orang yag lebih rajin dari kita
serajin-rajin kita ada yang lebih rajin dari kita. Pagi disaat kita sibuk dengan kegiatan yang harus dilakukan, mempersiapkannya... ternyata di saat itu pula ada orang-orang yang sibuk membersihkan masjid, menyapu, mengepel dan sebagainya. Jangan merasa anda adalah orang yang rajin di dunia, tapi mulai hari ini .. lebih-lebihlah untuk rajin.

8. ada orang yang lebih sabar dari kita
jangan merasa anda adalah orang yang paling sabar. ketahuilah ada orang yg lebih sabar dari kita. Jadi .. teruslah berikhtiar untuk menjadi penyabar ... dapatkan ketenangan hati dan memperoleh apa yang Anda citakan dengan sabar yang Anda miliki itu

9. ternyata ada yang lebih dari saya, lebih dari anda, dan lebih dari kita ...
jika kebaikan itu yang Anda lihat dalam diri orang lain ... kejar kebaikan itu hingga Anda mendapatkannya ... sebaliknya jika ada yang lebih buruk dari kita jauhi keburuka itu .. sehingga keburukan itu tak menempel dalam diri kita ...

akhirna ... mari ... MAKSIMALKAN KEAIKAN MINIMALKAN KEBURUKAN ... terus berjuang  dengan sungguh-sungguh...